Blusukan Budaya, Masuk Lebih Dalam
Jakarta, 5 Juni 2022. By Prudensius Maring, PSBLN. Hingga akhir minggu ini masih terasa gaung peringatan hari kelahiran Pancasila. Kita telah merayakan sebagai hari besar nasional. Hal-hal yang besar memang selalu menarik perhatian yang diwujudkan melalui hikmat perayaan dan upacara. Tajuk minggu ini mengajak kita melihat bahwa hari besar yang kita rayakan itu dilahirkan dari peristiwa-peristiwa perjumpaan dan kesetiaan para tokoh pejuang untuk masuk lebih jauh ke dalam rahim Ibu Pertiwi.
Kita lazim menjalani perayaan/upacara hari lahir Pancasila di pusat-pusat kota skala kecil dan besar, bahkan di Ibu Kota Negara. Tahun ini, secara nasional pelaksanaan peringatan hari lahir Pancasila dilaksanakan di Ende, sebuah kota kecil di Flores. Pada siang hari Presiden Joko Widodo memimpin upacara peringatan kelahiran Pancasila, di malam hari Presiden Joko Widodo melakukan blusukan keluar masuk gang-gang sempit dan rumah-rumah warga seraya saling menyapa dalam cara amat iklas dan bersahaja. Sapaan, dialog, dan proses penerimaan yang terpentas memperlihatkan spontanitas dan keramah-tamahan otentik.
Menguak Blusukan Pejuang Dahulu
Aksi Jokowi memimpin upacara, blusukan malam hari ke rumah-rumah warga, berkunjung atau silaturahmi ke tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah tindakan mengandung pesan simbolik. Upacara dan peristiwa perjumpaan pada momentum itu menunjukkan kegembiraan masyarakat dan kebesaran Pancasila. Blusukan spontanitas di tengah hikmat perayaan menyiratkan pesan bahwa hal-hal besar yang kira rayakan dan sila-sila Pancasila yang kita ucapkan lantang di lapangan upacara itu bersemayam dan tumbuh-hidup di gang-gang kecil dan rumah-rumah warga yang bersahaja.
Secara simbolik, lebih jauh bisa dibaca bahwa perjumpaan spontanitas yang berlangsung di kota Ende dan sekitarnya di tengah suasana peringatan hari lahir Pancasila tahun ini menguak ingatan bagaimana para tokoh pejuang dahulu keluar masuk kampung untuk menggali nilai-nilai luhur bangsa. Mereka berjuang merumuskan dan melahirkan Pancasila dari hasil perjumpaan dengan masyarakat di seantero Nusantara. Bahkan, tokoh-tokoh pejuang terdahulu harus menjalaninnya melalui peristiwa-peristiwa pengasingan, pembuangan, dan dipenjara – seperti yang dialami Bung Karno di kota Ende dan tokoh-tokoh pejuang lainnya di beberapa kota dan daerah terpencil di Nusantara.
Dalam sudut pandang penjajah, daerah terpencil pada masa 1925-1950 seperti Ende, Boven Digul, Banda Neira, Bengkulu, Berastagi, Danau Toba, Bangka, dan penjara Banceuy dan Suka Miskin adalah daerah pembuangan. Daerah-daerah itu jadi sasaran pengasingan para tokoh yang vokal dan dianggap membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Namun sebaliknya, dalam refleksi perjuangan kemerdekaan, saya memaknai peristiwa pembuangan itu adalah “panggilan” Ibu Pertiwi. Ibu Pertiwi melalui caranya memanggil para tokoh bangsa masuk lebih jauh ke dalam wilayah Nusantara. Para tokoh yang diasingkan/dibuang mampu mentransformasi “pembuangan dan pengasingan” menjadi kesempatan masuk lebih jauh untuk berjumpa dengan masyarakat. Dari dekat mereka menyerap dan mengambil sari-pati nilai luhur bangsa dari rahim Ibu Pertiwi.
Ketika dalam pengasingan di Ende, Bung Karno mengalami perjumpaan intens dengan masyarakat. Ende adalah kota kecil di Flores, tempat Bung Karno diasingkan selama 1934- 1938. Tapi justru di tempat pembuangan itu, Bung Karno berjumpa dengan masyarakat, tokoh agama Islam dan Katolik di wilayah itu, intens mengolah pikir, menulis naskah drama, dan berseni teater. Nuansa demikian mengantarkan Bung Karno menemukan ruang untuk merenungkan Pancasila. Seperti dinyatakan Preside Joko Widodo dalam peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 2022: “Di kota yang sangat bersejarah ini, Bung Karno proklamator kemerdekaan, bapak pendiri bangsa merenungkan dan merumuskan Pancasila yang kemudian disahkan oleh PPKI sebagai dasar negara dan mewariskan Pancasila bagi bangsa dan Negara.” (https://www.kompas.tv/article/294772/).
Gelora spirit serupa juga dinyatakan Mohammad Hatta ketika bersama Sutan Sjahril diasingkan ke Boven Digul, Papua tahun 1935 (Bosco, 2017; Handoko, 2016). Di tengah penjara alam dan perjuangan melawan ancaman malaria, Hatta menegaskan bahwa di mana pun tempat mereka dibuang/diasingkan di situ tumbuh cita-cita untuk Ibu Pertiwi: “Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.”
Masuk Lebih Dalam dan Dinamis
Demi Indonesia merdeka, para tokoh pejuang telah mengubah pengasingan dan pembuangan menjadi ujian kesetiaan kepada Ibu Pertiwi. Para tokoh muda pejuang kemerdekaan bersedia dan setia untuk masuk lebih jauh ke pelosok tanah air untuk melihat dan mengalami secara langsung. Para tokoh berkesempatan berjumpa dengan petani, nelayan, masyarakat desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat di berbagai wilayah.
Benih-benih nilai yang diserap dari pengalaman blusukan dan pengasingan/pembuangan ke berbagai daerah telah menjadi bahan perenungan nilai-nilai budaya dan prinsip hidup bangsa Indonesia. Proses perenungan itu sesungguhnya adalah fase “pembuahan” yang menyiapkan proses masuk ke fase “perumusan” Pancasila (Yudi Latif, 2011). Itu terlihat, ketika bermusyawarah untuk merumuskan Pancasila, pengalaman perjumpaan dari berbagai wilayah Nusantara menjadi inspirasi otentik untuk ditautkan dengan kompleksitas pengetahuan komparatifyang mereka peroleh melalui pendidikan, pertukaran gagasan, dan pergaulan internasional para tokoh.
Para tokoh masa lalu telah berdaya upaya mengalahkan cara penjajah yang sengaja membuang dan mengasingkan mereka. Para tokoh telah membuktikan kesetiaannya untuk masuk lebih jauh menyerap dan mengambil sari pati nilai budaya bangsa. Bagaimana dengan kita?
Pesan lugas adalah kita harus masuk lebih jauh ke dalam untuk berjumpa dengan masyarakat sebagai sumber-sumber nilai budaya bangsa. Nilai-nilai Pancasila diambil dari sari pati nurani bangsa yang tersebar luas di bumi Nusantara. Karenanya, belajar Pancasila tidak cukup terpusat dan terhenti di ruang fisik, perpustakaan, laboratorium, museum, penataran, panduan dan pedoman baku, yang semuanya terjadi karena petunjuk dari atas, dari satu titik dan terpusat. Kita bisa saja diberi tanggung jawab mengurus dan menguatkan nilai-nilai Pancasila, tapi bukan berarti mengambil otoritas untuk menarik semua proses dan substansi pembelajaran seolah bersumber dari pusat dan masyarakat berada pada posisi sebagai pihak yang menerima sosialisasi.
Kita butuh pendekatan yang dinamis, cair, fleksibel, dan mengutamakan proses belajar bersama. Banyak cara bisa dilakukan melalui blusukan, lebih sering berjumpa dengan masyarakat, melakukan refleksi bersama, mengapresiasi masyarakat, memberi peneguhan atas praktik baik yang sudah berlangsung, melepaskan kontrol berlebihan, dan menghidupkan panggung ekspresi sosial-budaya berbasis komunitas dan masyarakat. Komunitas dan masyarakat adalah laboratorium utama, bukan asing dan berjarak dengan Pancasila. Alur kerja induktif melalui observasi partisipatif yang menghargai realitas kehidupan masyarakat menjadi keniscayaan untuk merawat budaya yang beranekaragam. Salam budaya luhur Nusantara. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).
0 Comments