Jalinan Kecerdasan, Budi Luhur, dan Budaya

Published by psb_admin on

Jakarta, 13 Oktober 2023. By Prudensius Maring, PSBLN. Kecerdasan sebagai kemampuan berpikir perlu dibangun di atas budi yang luhur dan berbudaya. Budi luhur menunjuk pada kemampuan olah batin yang membuahkan nilai-nilai bersifat ideologis yang dipraktikkan. Nilai-nilai bersifat ideologis merupakan wujud dan dimensi inti kebudayaan yang bersifat abstrak.

Makna luhur, baik yang melekat pada budi maupun budaya selalu mengandung makna keutamaan. Luhur menunjuk pada hal yang utama, hal yang tinggi, hal yang dicita-citakan dan dituju oleh semua makluk berakal-budi.

Cerdas Berbudi Luhur

Cerdas dan berbudi luhur adalah dua dimensi yang tidak terpisahkan. Itu terlihat, misalnya, kita selalu menautkan akal dan budi menjadi “akal budi” dalam satu padanan makna. Olah akal selalu berhubungan dengan kemampuan berpikir (Hadiwijono dalam Gultom, 2016) yang bermuara dan mewujud dalam beragam kecerdasan (Gardner dalam Lengkong, 2014). Olah budi bermuara pada kematangan dan hasrat kebaikan yang bekerja pada ruang batin atau jiwa (Widiyastuti, 2019).

Pada satu dimensi, akal pikiran dan kecerdasan yang terasah bisa bergerak cepat, bersifat akumulatif, menempuh alur ilmiah, dan selalu dalam proses pencarian kebenaran yang mengacu pada locus alamiah (Abbas, 2010; Gultom, 2016). Pada dimensi lain, budi yang luhur yang dipenuhi nilai ideologis bisa melahirkan kematangan dan kebijaksanaan yang mampu membuat manusia bisa menahan diri, mengendalikan diri, dan refleksi diri di tengah kemajuan yang dialami. Kedua dimensi itu, kecerdasan dan budi yang luhur – bekerja dalam satu kesatuan.

Pendasaran dan pengintegrasian makna budi luhur dan budaya luhur memberi tanda pembeda sekaligus menjadi nilai tambah pada tujuan mewujudkan kecerdasan yang diemban Universitas Budi Luhur. Kecerdasan yang diperjuangkan adalah kecerdasan berkarakter kebudiluhuran yang dipenuhi nilai kesabaran, rasa syukur, cinta kasih, rendah hati, menolong sesama, kerjasama, jujur, tanggung jawab, toleransi, dan sopan santun (Djaetun, 2015; Anonim, 2014). Nilai-nilai tersebut merupakan buah refleksi pengalaman empirik dan spiritualitas pendiri Universitas Budi Luhur (Djaetun, 2015; Iskandar, 2019).

Pencapaian kecerdasan tersebut diwujudkan melalui visi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kewirausahaan yang berwawasan global dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kebudiluhuran. Visi tersebut digerakkan dan diperjuangkan sejak tahun 1979. Dari waktu ke waktu berlangsung proses adaptasi dan penyesuaian terhadap realitas sosial dan dinamika perubahan pada skala nasional dan global.

Visi di atas memperlihatkan ikhtiar untuk memelihara keseimbangan antara kemajuan akal (kecerdasan) dan budi yang luhur. Cerdas saja tidak cukup, karena kecerdasan belaka bisa digunakan untuk merugikan orang lain. Sebaliknya, menjadi orang baik yang berbudi luhur saja tidak cukup karena bisa diperdaya atau ditipu orang lain (Djaetun, 2015; Anonim, 2014).

Dalam makna yang dalam, kebudiluhuran adalah landasan filosofis atau nilai-nilai ideologis yang diabstraksi dari pengalaman hidup, baik secara individu maupun dalam konteks komunitas atau masyarakat lebih luas. Dalam kaitan ini, makna dan nilai-nilai budi luhur yang menjiwai dan menggerakkan Universitas Budi Luhur adalah buah pengalaman empirik-spiritual yang terus dikembangkan secara inklusif dan kontekstual.

Cerdas Berbudaya Luhur

Melalui sudut pandang kebudayaan, nilai-nilai kebudiluhuran bisa dilihat sebagai bagian dari wujud dan dimensi ideal/abstrak kebudayaan yang berisikan nilai atau gagasan ideologis. Gagasan ideologis tersebut mendasari wujud dan dimensi kebudayaan lainnya, yaitu sistem sosial, sistem perilaku, pengetahuan, linguistik, dan aspek fisik kebudayaan (Koentjaraningrat, 2009; Ahimsa-Putra, 2020; Rachman, 2021).

Keseluruhan dimensi dan wujud budaya tersebut di atas menghasilkan kebudayaan yang dimaknai sebagai konstruksi gagasan ideologis, pola perilaku, tanda, dan simbol yang dihasilkan dari proses belajar, bersifat rasional, terintegrasi, dimiliki dan dibagi bersama, bersifat adaptif, dan menjadi pedoman kehidupan manusia (Saifuddin, 2005; Ahimsa-Putra, 2020).

Terlihat bahwa para ahli menggambarkan wujud inti kebudayaan berisikan nilai-nilai bersifat ideologis. Dalam konteks Universitas Budi Luhur, nilai-nilai inti bersifat ideologis tersebut adalah nilai kebudiluhuran seperti telah dinyatakan di depan, yaitu nilai kesabaran, rasa syukur,  cinta kasih, rendah hati,  menolong sesama, gotong-royong, kerjasama, jujur, tanggung jawab, toleransi, dan sopan santun. Nilai-nilai tersebut pun tumbuh dan berkembang pada komunitas dan masyarakat di berbagai wilayah Nusantara sesuai konteks-konteks sosialnya.

Terlihat bahwa  pada satu sisi, nilai kebudiluhuran tersebut terus dikembangkan, diajarkan, dan dipratikkan secara formal dan informal dalam kehidupan kampus. Pada sisi lain, meskipun nilai kebudiluhuran bersumber dari refleksi pengalaman empirik dalam lingkup sistem budaya dan spiritualitas tertentu, namun terus digalakkan spirit inklusivitas. Universitas Budi Luhur terus berjuang mewujudkan spirit tersebut melalui studi dan pengembangan budaya, kreasi seni-budaya bertema kearifan lokal Nusantara.

Ada optimisme bahwa komitmen mengembangkan nilai kebudiluhuran bisa berkontribusi pada penguatan budaya Nusantara. Sejalan dengan itu, komitmen mengembangkan budaya Nusantara pun bermuara pada penguatan nilai kebudiluhuran. Muara keseluruhan upaya tersebut adalah terciptanya manusia cerdas yang  berbudi luhur dan berbudaya luhur. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).

Categories: Tajuk Budaya

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *