Borobudur, Cermin Kultural-Spiritual

Published by psb_admin on

Jakarta, 24 Juni 2022. By Prudensius Maring, PSBLN. Hingga akhir minggu lalu masih ramai pro dan kontra soal harga tikel masuk Candi Borobudur. Terkesan fokus perbincangan mengarah pada kepentingan pariwisata dan keadilan akses. Di balik kepedulian atas nama pariwisata dan akses tersebut, kami ingin nyatakan bahwa Candi Borobudur adalah cermin sosiokultural dan spiritual kita. Usianya lebih dari 12 abad. Itu waktu yang terbentang amat sangat jauh ke belakang, luas, dan panjang. Menghitung mundur menuju masa awal kemerdekaan, masa kebangkitan bangsa, hingga ke masa awal proto-nasionalisme saja terasa waktu yang sudah berlalu amat lama dengan seribu satu kisah.

Meski demikian, berkat kemajuan ilmu pengetahuan, kegigihan cara kerja para ahli, kaum arkeolog, arsitek, ahli sejarah, dan pemerintah, yang bekerja berkesinambungan dan konsisten, kita memiliki Borobudur sebagai milestone peradaban. Borobudur adalah tonggak sejarah peradaban. Meski berabad-abad pernah terkubur abu vulkanik letusan gunung api tapi Borobudur berhasil digali-bersihkan hingga mampu membuat kita kini bisa berhenti, menjejakkan kaki pada masa-masa silam, sekaligus membuka refleksi dan mengagumi. Kita diundang menikmati sekaligus melestarikan kemajuan peradaban masa lampau itu.

Sejalan usianya yang panjang, Borobudur sudah sangat banyak ditulis orang untuk kepentingan ilmiah-akademik hingga laporan perjalanan ringan untuk berbagi kisah. Tulisan dan berbagai bentuk dokumentasi, tentu tidak terhitung jumlahnya dan mengandung daya tarik bervariasi. Upaya menulis tentang Borobudur perlu terus dilakukan karena itu salah satu cara melestarikan Candi Borobudur. Atas niat itu, ketika menghangat prokontra harga tiket masuk Candi Borobudur, kami menulis tajuk ini yang tertunda diterbitkan karena kesibukan internal Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara (PSBLN).

Kekaguman Spiritual

Borobudur adalah tonggak capaian peradaban yang selalu mengundang decak kagum. Kapan pun kita mendekatinya: Kagum! Betapa ia menjembatani masa abad ke-8 dengan masa abad ke-21 kini. Coba saja, ketika dalam hiruk-pikuk akselerasi pembangunan dan keletihan mengejar perubahan abad ini anda menyempatkan diri menginjakkan kaki di Candi Borobudur. Pasti helaan nafas yang terlontar spontan adalah kekaguman: Decak kagum! Decak kagum adalah ekspresi hasil akumulasi berbagai sumber yang seketika memenuhi akal-budi kita.

Sumber pertama, kita kagum pada tatapan pertama atas apa yang segera terlihat dan kesan yang segera dirasakan. Kagum atas kelihaian nenek moyang kita memilih perbukitan landai di tengah keteduhan gunung-gunung menjulang tinggi di Jawadwipa yang dialiri sungai-sungai besar bergerak menuju pantai. Alam pikir kita segera bekerja membayangkan bagaimana nenek moyang masa silam telah dengan cerdas-pandai memilih lokasi strategis yang nyaman dan tenang untuk merenung diri, dan merefleksi. Borobudur tidak menjulang tinggi. Ketinggian asli hanya 42 meter  dengan luas 123 x 123 meter. Tapi tempat itu sangat nyaman untuk memuja-muji Sang Pencipta alam semesta dan kehidupan (Riyanto, 2017; http://kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Para ahli bangunan dan tukang yang hadir ke Borobudur pasti bertanya-tanya: Bagaimana mengangkut batu-batuan andesit itu? Para ahli geologi pasti bertanya, dari mana sumber batu, bagaimana mengangkutnya? Alam pikir kita pasti dengan cepat membandingkan dengan kontradiksi masa kini. Untuk memenuhi bahan bangunan bendungan air dan pembangunan pabrik semen dengan bahan baku batu kapur saja  kita harus terjebak dalam konflik – seperti terjadi di desa Wadas dan Kendeng di Jawa Tengah belum lama ini!

Para arsitek pasti tertegun, bagaimana menata landscape, menyusun blok batu andesit yang saling mengunci membentuk struktur piramida berundak, menata 73 stupa dengan 504 arca sedemikian kompleks tapi memiliki makna masing-masing. Bagaimana menjaga bidang-bidang tetap simetris pada masa silam ketika kemajuan teknologi masih kita ragukan. Para sepuh, tokoh masyarakat, tokoh agama dan kaum religius, pastilah berguman: Bagaimana nenek moyang kita memberi pelandasan filosofis atas konstruksi dan struktur Borobudur yang kompleks dan syarat makna itu?

Sumber kedua, pada tingkat lebih dalam pembacaan tentu mengarah kepada makna yang tersirat lebih dalam. Tiga bentang piramida berundak yang dimulai dari kamadhatu, menuju rupadhatu, dan memuncak ke arupadhatu, secara jelas menyajikan ke hadapan kita bentang siklus alam semesta dan siklus kehidupan yang kita jalani. Area kamadhatu melambangkan “alam-bawah”  yang dialami semua manusia yang masih dikuasai keinginan, nafsu, dan hasrat duniawi. Area rupadhatu melambangkan “alam-antara” di mana manusia mulai meninggalkan hasrat duniawi walau masih terikat dunia nyata. Area arupadhatu melambangkan “alam-atas”, tempat para dewa, simbol unsur tak berwujud, tanda lepasnya nafsu duniawi.

Dengan demikian, ketika kaki menjejak di Borobudur, tiga bentang Candi Borobudur tersebut seolah menyandingkan cermin spiritualitas tak terbantahkan. Setiap kita yang berkunjung, tentu sedang dalam perjuangan menapaki “alam-bawah” (kamadhatu) yang mungkin saja dipenuhi hasrat, ambisi, kerakusan, dan ketamakan. Namun, cermin besar itu memantulkan spirit bahwa kita semua memiliki peluang melintasi piramida berundak menuju alam rupadhatu untuk mengikis hasrat duniawi dan bahkan bisa melepaskannya. Kita semua memiliki harapan menggapai dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta di alam arupadhatu melalui amal perbuatan dan kekhusukan doa/ibadah kita. Kita semua memiliki peluang menggapai impian tapi syaratnya harus melalui perjuangan sebagaimana struktur dasar Candi Borobudur yang berundak-undak.

Kekaguman Kultural

Pada sis lain, pembacaan mendalam atas Borobudur tentu mengarahkan kita pada refleksi kultural. Melalui Candi Borobudur kita menemukan pertautan agama Buddha dari India dengan budaya luhur Nusantara. Candi Borobudur berhasil menggabung dua unsur budaya dari budaya asli Indonesia dan agama Buddha dari India. Unsur budaya asli Indonesia dalam Candi Borobudur terlihat dari bentuk menyerupai “punden berundak-undak” yang sejak zaman megalitikum digunakan sebagai tempat untuk memuja roh nenek moyang leluhur Nusantara. Struktur candi yang menyerupai piramida punden berundak yang mewadahi tiga siklus alam semesta memperlihatkan sinergi dan pertautan dua kebudayaan tanpa merubah ciri dasar masing-masing.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan lebih modern, baru pada masa akhir abad ke-18 pertautan antara dua kebudayaan yang saling beradaptasi tanpa mengubah ciri dasar/asli masing-masing ini disebut sebagai akulturasi. Pada masa akhir abad ke-18, konsep “akulturasi” adalah istilah baru dalam bahasa Inggris yang pertama kali diusulkan tahun 1880 oleh etnolog Amerika John Powell untuk menjelaskan kesamaan budaya yang timbul dari kontak budaya dari kelompok etnis yang berbeda. Dalam perkembangannya, antropolog Amerika Franz Boas (1920) dan ilmuwan Austria Richard Turnwald (1932) adalah orang pertama yang mencoba memberikan bukti teoretis atas fenomena akulturasi (L. Sokolskaya & A. Valentonis, 2020).

Dengan demikian, poin yang mau disampaikan adalah jauh sebelum konsep akulturasi diperkenalkan untuk pertama kalinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, nenek moyang kita telah mengabadikan akulturasi sejak abad ke-8. Kini, ketika poses transformasi pengetahuan sosial budaya di kelas, dengan cepat peserta belajar secara meyakinkan merujuk dan menyebut Borobudur sebagai contoh akulturasi. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi lebih dari 12 abad silam? Pertanyaan demi pertanyaan itu makin terasa berat karena di “kepala-kita” cenderung dipenuhi konstruksi berpikir bahwa makin ke sini harusnya makin maju dan beradab. Sebaliknya, makin ke belakang waktunya berarti makin mundur dan terbelakang.

Secara simbolik, decak kagum adalah wujud refleksi. Setiap kehadiran kita di Borobudur atau ketika alam kasadaran kita dipenuhi bayang-bayang Candi Borobudur sebetulnya kita sedang berada di depan cermin besar yang menawarkan nilai-nilai sosiokultural dan spitual untuk dijadikan teladan dan bekal kehidupan kita. Cermin luhur ini menjadi kian penting di tengah peradaban masa kini yang mendetermintasi dan menawarkan wajah kehiduapan penuh ambisi, persaingan, kompetisi, kerakusan, ketamakan, konflik, kekerasan. Kini, kita bahkan harus berjuang untuk bisa mengambil pilihan mandiri untuk menjadi orang berkarakter yang mendasarkan diri pada nilai keutamaan (sabar, jujur, kasih sayang, bela rasa, berbagi, menghormati, menghargai, toleransi, dan gotong-royong).

Akhirnya, penting bagi kita untuk menerjemahkan kekaguman menjadi tindakan merawat Candi Borobudur sebagai basis kultural dan spiritual. Candi Borobudur terlalu mahal dan tak ternilai untuk dilihat sebagai komoditas pariwisata semata. Ia harus inklusif dan terjangkau bagi semua orang untuk menjawab kebutuhan pendidikan dan kebudayaan. Atraksi dan ritual berbasis komunitas perlu terus dirawat dan diekspresikan sepadan dengan siklus budaya yang hidup-tumbuh dalam masyarakat. Para pengunjung apalagi pengambil kebijakan  perlu melestarikan kemurnian Candi Borobudur dan menjauhkan dari eksploitasi. Salam budaya luhur Nusantara. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).

Categories: Tajuk Budaya

2 Comments

Kasih hanggoro · July 12, 2022 at 2:51 am

Terima kasih atas tulisan yg membeberkan keagungan Nussntara melalui candi bororudur dan ajaran agung Sang Budha… semoga nusantara makin jaya.

    psb_admin · August 22, 2022 at 3:47 am

    terima kasih atas suport dan dukungannya pak kasih

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *