Merawat Kearifan Merawat Bumi

Published by psb_admin on

Jakarta, 12 Juni 2022. By Prudensius Maring, PSBLN. Hingga akhir minggu ini masih terasa nuansa peringatan hari lingkungan hidup sedunia, tepatnya 5 Juni. Aneka ragam kegiatan dilakukan di berbagai tempat oleh berbagai pihak. Ada aksi tanam pohon, bersih-bersih pantai,  olah sampah, lomba-lomba edukasi, upacara bersama, ada pula yang melakukan pelatihan teknis dan advokasi penguatan perilaku merawat lingkungan.

Peringatan hari lingkungan hidup sedunia tahun ini tetap mengacu kepada tema global: “Only One Earth” (Sustainably in Harmony with Nature).” Peringatan di Indonesia digaungkan melalui tema: “Satu Bumi untuk Masa Depan.” Gaung peringatan hari lingkungan hidup ini makin penting di tengah degradasi lingkungan alam dan perubahan iklim yang sudah berlangsung secara global. Banjir, tanah longsor, pemanasan global, pencemaran udara-tanah-air, tidak terhindarkan. Selain  itu, momentum ini kian penting di tengah menguat dan masifnya perilaku tamak dan eksploitatif terhadap alam.

Berbagai aksi riil yang dilakukan di berbagai tempat oleh berbagai pihak selalu digerakkan oleh cara pandang dan perspektif tertentu. Meski berbagai pemberitaan di balik peringatan hari lingkungan hidup seolah memberi kesan  bahwa kita telah tiba pada kesadaran untuk memberi aksi nyata ketimbang berdialektika soal paradigma yang berbeda, namun penting merunut kembali cara pandang tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena pilihan-pilihan tindakan yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah hasil dari pilihan cara pandang terhadap hubungan manusia dan lingkungan.

Hubungan Manusia dan Lingkungan

Dengan niat tersampaikan di atas, tajuk kali ini mencoba mengingatkan kembali dialektika bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan yang tidak pernah berakhir. Di tengah dialektika yang menjurus prokontra tersebut, justru terbuka tawaran alternatif untuk belajar pada kearifan masyarakat lokal. Masyarakat lokal  yang tidak pernah terlibat dalam perdebatan perspektif justru sejak awal menempatkan diri sebagai bagian integral dari alam/lingkungan. Kearifan masyarakat  lokal tersebut menunjukkan tanggung jawab moral-etisnya dalam merawat lingkungan yang patut kita contoh.

Manusia dan lingkungan alam semesta tidak bisa dipisahkan. Kita hanya punya satu bumi untuk mewadahi kompleksitas kepentingan dan akal-budi manusia yang terus berkembang. Kompleksitas hubungan antara manusia dengan lingkungan mengingatkan perdebatan perspektif antropologi ekologi yang biasa secara longgar disebut juga sebagai ekologi budaya dan ekologi manusia. Dari hulu perspektif tersebut, di satu sisi berkembang aliran pemikiran determinisme lingkungan yang diperhadapkan dengan aliran posibilisme (Ahimsa-Putra, 1994).

Kedua aliran tersebut memperdebatkan apakah faktor lingkungan yang menentukan pola perilaku manusia (behavior patterns)  atau sebaliknya perilaku manusia (kebudayaan) yang mempengaruhi dan menentukan faktor lingkungan. Aliran determinisme lebih melihat hubungan bersifat kausalitas antara manusia dan lingkungan di mana faktor lingkungan yang menentukan corak kebudayaan. Pada sisi lain, aliran posibilisme melihat manusia melalui kebudayaannya yang tecermin dalam perilaku dan teknologi yang dihasilkannya yang menentukan corak lingkungan.

Pada dimensi lain, hubungan antara manusia dengan lingkungan juga dibahas dalam etika lingkungan. Basis etika lingkungan melahirkan kritik dan himbauan bagaimana manusia seharusnya bertindak secara moral-etis terhadap lingkungan. Bagaimana manusia mengambil posisi dan tanggung jawab etis terhadap lingkungan terwadah dalam perdebatan antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan varian lain yang lebih berwatak ekofeminisme.

Etika antroposentrisme memberi keleluasaan ruang gerak manusia terhadap lingkungan. Manusia dilihat sebagai pusat dari sistem alam semesta. Komponen lingkungan lain bersifat biotik-abiotik harus melayani kepentingan manusia. Aliran antroposentrisme dituding sebagai pintu masuk perilaku eksploitatif dan tamak terhadap lingkungan. Karenanya, aliran etika antroposentrisme kemudian berhadap-hadapan dengan etika biosentrisme yang menempatkan semua komponen biotik (termasuk manusia) dalam posisi yang sama.

Dalam perspektif biosentrisme, semua komponen alam semesta (tidak hanya manusia) memiliki sifat intrinsik yang melekat pada dirinya. Bahkan, dengan tegas dinyatakan bahwa manusia sebagai makluk berakal budi harus memiliki tanggung jawab moral terhadap komponen lingkungan lainnya. Pandangan biosentrisme kemudian diperkuat melalui etika ekosentrisme dengan menyertakan unsur abiotik sebagai komunitas ekologis (unsur manusia + unsur biotik lain + unsur abiotik). Semua komunitas ekologis tersebut dilihat sebagai komunitas moral, bukan hanya manusia (Keraf, 2002).

Kemunculan ragam perspektif tentang hubungan manusia-lingkungan tidak dengan serta merta menyelesaikan persoalan lingkungan masa kini. Degradasi dan kerusakan lingkungan tetap dituding sebagai akibat dari etika antroposentrisme yang membenarkan perilaku eksploitatif manusia terhadap lingkungan. Sebaliknya, kebijakan Negara/pemerintah yang tidak memberi ruang akses kepada masyarakat (sehingga timbul kemiskinan dan kelaparan) dan pengetatan tata kelola sumber daya lingkungan dituding sebagai akibat pemberlakuan etika biosentrisme/ekosentrisme secara berlebihan.

Merujuk Kearifan Merawat Alam

Di balik prokontra di atas lahir cara pandang dan perspektif yang lebih moderat dengan mengusung watak/karakter ekofeminisme dan ecofriendly sebagai upaya mencari pendekatan baru untuk mengatasi masalah lingkungan. Bahkan, di tengah prokontra di atas lahir pandangan moderat yang menunjukkan bahwa apa yang diperjuangkan etika ekosentrisme agar menusia memosisikan diri sebagai bagian integral dari alam/lingkungan sebetulnya telah lama dipraktikkan oleh masyarakat melalui kearifan lokalnya (Keraf, 2002). Karenanya, dari pada menghabiskan energi untuk saling menuding di tengah degradasi lingkungan, lebih baik mari kita belajar dari bukti-bukti kearifan masyarakat yang telah dipraktikkan.

Kearifan lokal lahir dari proses panjang bagaimana masyarakat berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Pada setiap daerah dan komunitas atau masyarakat setempat selalu lahir kearifan khas. Masyarakat secara kolektif membangun nilai, norma, dan mekanisme sosial untuk merawat lingkungan alamnya. Mereka mengatur bagaimana merawat dan berapa banyak yang bisa diambil dari alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka membentuk perilaku berpola dalam merawat lingkungan alamnya. Meski ada kisah masyarakat harus berjuang menahan godaan uang dan tekanan yang datang dari luar tapi benih kearifan masih bisa dipertahankan.

Kita optimis bahwa kesadaran merawat kebiasaan, merawat perilaku kolektif, dan merawat budaya yang bertanggung jawab terhadap alam sedang berlangsung di berbagai tempat. Berbagai pihak sedang melakukan, baik secara perorangan, berbasis komunitas, organisasi formal dan informal untuk menyelamatkan bumi. Di lingkungan Universitas Budi Luhur, misalnya, upaya merawat bumi dilakukan secara terinstitusi dan berbasis prakarsa individu atau kelompok. Sejak awal ditanamkan nilai mencintai alam dan menghormati kehidupan. Nilai cinta kasih (welas asih) diberlakukan sama terhadap sesama manusia dan lingkungan, baik flora, fauna, dan seluruh isi alam ciptaan Tuhan. Selalu ada nasihat agar kita jangan sewenang-wenang dan jangan rakus terhadap alam dan sesama (Djaetun HS, 2020; PS Kebudiluhuran, 2014).

Sebagai kampus di tengah kota metropolitan, Universitas Budi Luhur berikhtiar memelihara hubungan harmonis dengan aliran sungai dan tanaman hijau. Melalui Pusat Studi Citarum Harum, kampus memperjuangkan nilai air sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat di bantaran sungai Citarum. Pusat Studi Lingkungan melalui Unit Bank Sampah terus menggalang kerjasama menanamkan nilai tanggung jawab manusia terhadap lingkungan melalui pengelolaan dan daur ulang sampah. Tentu saja hal serupa bahkan lebih banyak prakarsa lainnya sedang dilakukan masyarakat, perguruan tinggi, institusi pendidikan, lembaga pemerintah,,dan organisasi di berbagai tempat.

Bumi dan seluruh isinya tidak cukup mewadahi ketamakan satu dua orang, tapi akan cukup untuk semua orang yang mau berbagi dan mengekang ketamakan dirinya (M Gandhi). Akhirnya kita perlu saling mengingatkan bahwa semua ikhtiar merawat bumi adalah wujud tanggung jawab moral-etis kita terhadap alam/lingkungan dan generasi masa depan. Dan pada tingkat tertinggi, semua yang kita lakukan terhadap alam/lingkungan merupakan tanggung jawab spiritual kita terhadap Sang Pemberi kehidupan. Rawatlah kearifan untuk merawat bumi. Salam budaya luhur Nusantara. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).

Categories: Tajuk Budaya

1 Comment

IMELDA · June 25, 2022 at 3:19 am

setuju pak .. menjaga bumi salah satu bentuk kewajiban kita pada pemilik bumi yang sebenarnya

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *