Pancasila Membumi dan Menuntun Kita Mengendalikan COVID-19
Oleh: Dr. Prudensius Maring
Kepala Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara (PSBLN), Dosen Fakultas Komunikasi & Desain Kreatif; Universitas Budi Luhur*)
PANCASILA kita peringati hari lahirnya hari ini, 1 Juni. Kali ini terasa beda karena berlangsung di tengah bangsa mengalami pandemi global COVID-19. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah segala pikiran dan tindakan yang terpentas dalam situasi pandemi COVID-19 ini menginspirasi dan mengonfirmasi keberlakuan nilai-nilai luhur Pancasila.
Meski hanya respon cepat dan ringan, ikhtiar menjawab pertanyaan itu adalah bentuk refleksi dan apresiasi dinamis-kontekstual bertepatan hari lahir Pancasila. Kita boleh menelusuri sumber pembelajaran Pancasila secara historis, sosio-cultural, dan politik-hukum, tapi kali ini saya coba melihat dari sudut kekinian dalam situasi pandemi global ini. Adakah nilai-nilai Pancasila sedang bekerja keras dari dalam diri kita, menuntun kita keluar dari pandemi COVID-19? Atau, kita mengabaikannya?
Pandemi COVID-19 secara langsung menyasar segi-segi kehidupan negara-bangsa baik pada bidang kehidupan keagamaan-religiositas, kemanusiaan dan keadilan, persatuan dan kegotong-royongan, pengambilan keputusan yang berhikmat dan bijaksana, dan keadilan sosial yang menyasar pada kesejahteraan rakyat secara luas. Sudah sepantasnya, dalam momentum ini, ketika bidang-bidang itu mengalamai konstraksi di tengah pandemi COVID-19, kita sejenak melihat, merefleksi, dan mengambil sari-pati Pancasila untuk menuntun dan menguatkan kita.
Ketuhanan dan Kemanusiaan
Kita masing-masing, secara individu, keluarga, atau dalam kelompok dan komunitas, bisa saja memilih perspektif optimis-positif atau pesimis-negatif dalam menghadapi COVID-19. Dalam perspektif yang optimis-positif, perjuangan dan pertarungan melawan COVID-19 adalah totalitas ikhtiar kita untuk membela, memelihara, dan menjaga kehidupan. Kehidupan adalah keutamaan yang harus mengalahkan kematian. Apalagi kematian akibat wabah penyakit. Semua orang bertarung merebut kesehatan dan berusaha terhidar dari wabah COVID-19. Meski, ada saja yang menuding perjuangan itu adalah bentuk ketakutan sebagai representasi cara melihat pesimis-negatif.
Jika kita tarik lebih dalam, semua perjuangan memelihara kehidupan dengan mengalahkan COVID-19 adalah bagian terdalam dari kesadaran kita sebagai makluk ciptaan Tuhan. Kita adalah makluk yang mulia di hadapan Tuhan. Di kedalaman hati-batin, saya meyakini Tuhan menciptakan manusia sesuai citraNya. Kesadaran dan keyakinan itu menguatkan kita membela dan memperjuangkan kehidupan. Kita berjuang dengan keyakinan penuh bahwa Tuhan menyertai, merestui, memberkati perjuangan kita menjauhkan kita dari wabah virus corona.
Beragam wujud doa kita panjatkan kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Dalam kekalutan dan rasa “tidak nyaman” karena dalam sekejab kita harus merubah tata cara doa-ibadah dan pujian kita kepadaNya, tetapi kita tidak pernah berpaling dari Tuhan. Di berbagai tempat, digelar upacara dan ritual bernuansa adat-istiadat sebagai wujud kedalaman penghayatan religiositas dengan intensi memohon ampun pada kekuatan supranatural. Kita bertanya, apakah pandemi ini akibat kelalaian kita merawat bumi? Dan memelalui permohonan ampun itu kita pun merasa memperoleh kelegaan dan kekuatan untuk memerangi COVID-19.
Pada dimensi yang lain, beberapa kajian mengungkap bahwa pandemi meledak dalam siklus 100 tahunan. Kali ini adalah kemewahan bagi virus corona untuk bergerak cepat bertransmisi. Pandemi COVID-19 tahun 2020 ini meledak di tengah populasi dunia bertengger di kisaran angka 7,7 miliar jiwa dan populasi penduduk Indonesia diproyeksikan lebih dari 271 juta jiwa di tahun 2020. Angka-angka depan yang kian besar dengan jumlah nol berderat panjang ke belakang adalah keleluasan analisis berbasis statistik. Tetapi itu kerap sangat mengkhawatirkan kelompok yang mengarahkan perhatian pada soal kemanusiaan, pada jiwa-jiwa di balik angka. Banyak yang khawatir, angka-angka korban yang makin besar lebih bermakna secara statistik dan “menganonimkan” jiwa-jiwa yang bersemangat, tengah berjuang, atau yang lunglai jatuh jadi korban tanpa nama.
Namun, yang terlihat adalah sekalipun pandemi COVID-19 menyasar populasi besar dan menelan korban dalam satuan angka yang besar, tetapi tidak serta merta itu menutup mata kita terhadap nilai kemanusiaan. Lihat saja, dalam kegemparan dunia yang tersebar luas dan memuncak, kita masih mengarahkan perhatian pada upaya memulangkan sejumlah kecil warga kita di Wuhan sebagai daerah sumber pandemi. Dalam kekalutan pandemi dalam negeri, sebagai bangsa-negara kita tidak lupa melakukan penyelamatan terbaik terhadap sejumlah tenaga kerja di atas kapal pasiar mewah milik negara lain. Dalam kekalutan melanda pada batas ruang individu, keluarga, kelompok, dan komunitas, dan negara-bangsa, kita masih menggalang solidaritas, saling totong menolong, gotong-royong lintas batas atas nama kemanusian.
Dalam situasi darurat pandemik global kali ini, berkali-kali selalu muncul kabar yang menyatakan wabah COVID-19 tidak berbahaya dan hanya menyerang dalam persentase lebih kecil dibandingkan penyakit lain yang lebih mematikan. Namun, tekad penyelamatan kemanusiaan tidak surut. Kita mengerahkan kekuatan dan kemampuan terbaik kita demi penyelamatan pasien terinfeksi, pelacakan orang berpotensi tertular (ODP- PDP), isolasi, dan karantina.
Terlihat pula, tenaga-tenaga kesehatan kita tidak kenal lelah memperjuangkan keselamatan jiwa manusia, sekalipun tidak sepenuhnya mereka menerima reword berupa perilaku publik yang taat-patuh pada protokol kesehatan yang memicu lahirnya tagar #IndonesiaTerserah. Pemerintah di tingkat pusat dan daerah berjuang mengatur tata kehidupan sosial-ekonomi (lihat antara lain seperti BLT, BLS, PKH, BPNT). Mereka melakukan penyelamatan atas nama kemanusiaan, sekalipun cara itu tidak lepas dari kritik pedas akibat lemahnya akurasi data, tidak transparasi, dan belum efektif menyentuh kelompok rentan.
Hari ini, pada momentum peringatan lahirnya Pancasila, patutlah kita melipat-gandakan rasa bersyukur. Betapa beruntungnya kita yang hidup dalam negara-bangsa berdasarkan Pancasila ini. Nilai dalam sila-sila Pancasila telah mendasasri alam pikir kita dalam menghadapi COVID-19. Kita masih bisa mengekspresikan betapa kecilnya kita di hadapan Tuhan seraya memohon kekuatan Tuhan dengan aneka rupa wujud dan cara. Mari bersyukur seraya membulatkan tekad mengamalkan sila pertama dan kedua Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Persatuan, Keadilan, dan Musyawarah
Kita tidak bisa menutup mata bahwa arus datang wabah COVID-19 dengan cepat menjadi sasaran empuk analisis berbasis teori konspirasi dan analisis kelas yang bisa membuka atau memicu polarisasi sikap, saling curiga, dan posisi berhadap-hadapan. Terlihat upaya segelintir orang membangun analisis bahwa sumber wabah COVID-19 berasal dari kelas menengah ke atas. Seolah kelas menengah ke atas di kota-kota besarlah yang membawa masuk COVID-19 dari daerah sumber pandemi. Cara pandang demikian lalu dengan enteng menempatkan kelas bawah (masyarakat desa dan kelompok kerja serabutan-informal kota) sebagai penerima dampak, tidak saja terhadap potensi penularan COVID-19 tetapi juga dampak sosial-ekonomi.
Meski demikian, upaya membangun polarisasi agar anak bangsa bisa berhadap-hadapan di tengah pandemi itu seperti membakar api di tungku rumput basah yang cepat padam dan sedikit melepaskan asap. Kepanikan dan konstraksi sosial berupa penolakan jenazah, pasien, dan bahkan menghentikan kontrakan tenaga medis, rebut-rebutan sembako, masker, dan manipulasi data penerima bantuan, memang tidak bisa diabaikan. Kita tidak bisa mengabaikan potret di persimpangan jalan di mana ada nyawa manusia terkulai lemah tanpa pertolongan dan menjerit kelaparan. Tapi, potret kecil itu tidak sebanding dengan soliditas, kekompakan, dan kerjasama bahu membahu untuk saling membantu yang berlangsung di berbagai wilayah Indonesia.
Wabah COVID-19 seolah membuka mata kita, menghidupkan kembali prinsip persatuan dan kesatuan, gotong-royong, dan totong menolong yang nyaris direnggut kesibukan peradaban yang luar biasa. Kita tidak mengalami kesulitan berarti untuk menggelar solidaritas sosial karena sendi-sendi itu sudah lama tertanam dalam sejarah kehidupan bangsa Indoensia. Keseluruhan totalitas praktek penyelamatan nyawa manusia, pasien terinfeksi, orang dengan potensi terinfeksi, dengan segala upaya yang dilakukan dalam menghadapi wabah COVID-19 bagaikan panggung terbuka yang menyuguhkan bagaimana nilai-nilai persatuan dan keadilan sosial dipraktikkan.
Dalam sudut pandang optimis, kita harus meyakini bahwa gambaran dan ekspresi persatuan dan keadilan sosial yang masih kita saksikan dan nikmati pada masa pandemi COVID-19 ini adalah buah dari Pancasila. Karenanya, pada momentum hari lahir Pancasila ini, patutlah kita “malu” jika telah mengabaikan nilai-nilai Pancasila dan sekaligus bersyukur atas hidup dan berkembangnya nilai-nilai sila ketiga dan kelima dari Pancasila: Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam dimensi musyawarah-demokrasi, kehadiran wabah virus corona memberi ujian bermakna dalam praktek pengambilan keputusan strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah pusat telah membuat kebijakan melalui keputusan tentang pengelolaan anggaran, pembatasan sosial, dan protokol kesehatan sebagai langkah adaptasi kehidupan baru di tengah wabah COVID-19. Di tingkat daerah, pemerintah daerah terus melakukan keputusan penting untuk pengendalian COVID-19. Termasuk pro-kontra ketika pemerintah menggagas new normal (life) sebagai strategi baru menghadapi COVID-19. Proses pengambilan keputusan di tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pro dan kontra. Jangankan terhadap kebijakan dan keputusan yang berimplikasi pada distribusi dan alokasi sumber daya anggaran dan ekonomi, kebijakan dan keputusan yang bertujuan mengatur tertib perilaku dalam kehidupan sosial melalui pembatasan sosial-fisik dan larangan mobilitas sosial pun tidak lepas dari kritik dan penolakan masyarakat.
Di tingkat relasi kekuasaan eksekutif-legislatif, tidak bisa ditutupi suara-suara sumbang dan protes terhadap keputusan pemerintah yang dikhawatirkan menggaransi tindakan penyalagunaan kewengan dalam pengelolaan anggara di masa pandemi COVID-19. Di daerah, beberapa kepala desa menerima protes warga melalui demonstrasi di tengah wabah yang berbuntut pencopotan kepala desa. Pada ruang-ruang akademik dan kelompok sipil pun, hari-hari ini, ada inisiasi diskusi dengan tema “pemakzulan” yang lalu terhembus isu “makar” yang tidak jelas sumbernya. Di tingkat daerah terekam “kecemburuan” antara legislatif-eksekutif. Bupati tertentu dituding memanfaatkan momentum COVID-19 sebagai ajang kampanye terselubung. Geliat lain adalah KPU pun harus menarik ulur agenda-agenda terukur untuk penyelenggaraan Pilkada.
Saya melihat, berbagai pro-kontra, protes, dan kritik dalam proses pengambilan keputusan di tengah pandemi COVID-19 masih dibingkai semangat hikmat kebijaksanaan. Dalam situasi pendemi COVID-19, tetaplah kita menempu jalur musyawarah mufakat. Dalam sudut pandang optimis, kita harus meyakini bahwa gambaran proses pengambilan keputusan dalam situasi pandemi COVID-19 ini adalah buah dari Pancasila. Karenanya, pada momentum hari lahir Pancasila ini, patutlah kita memberi catatan kritis-mengritik seraya bersyukur atas hidup dan berkembangnya nilai sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan.
Kini, di balik pandemi COVID-19, tiba waktunya kita harus masuk ke fase mengadaptasi pola hidup baru (new normal life). Mari kita ambil nilai-nilai Pancasila untuk mendasari arah pergerakan kita. Bersyukurlah kita, ratusan tahun sepanjang sejarah bangsa, kita telah dijiwai nilai-nilai Pancasila. Pancasila mengajarkan kita untuk berserah kepadaNya, memelihara kemanusiaan yang adil dan beradab, merawat persatuan, menjaga hikmat-bijak bermusyawarah, dan memastikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat terjaga. Pancasila digali dari sari pati nilai luhur bangsa Indonesia di mana kita semua adalah bagiannya. Selamat hari lahir Pancasila. (*)
*) Penyesuaian penulisan afiliasi penulis. Repost atas ijin tertulis dari sumber pertama www.arahkita.com demi penyebarluasan nilai luhur Pancasila.
0 Comments