Sabar Narimo, Ojo Kesusu

Published by psb_admin on

Jakarta, 26 Mei 2022. By Prudensius Maring, PSBLN. Sabar narimo (sabar mensyukuri), tajuk ini sengaja diangkat untuk disandingkan dengan frasa yang populer hari-hari ini: Ojo kesusu (jangan terburu-buru). Memang kedua frasa tersebut tidak benar-benar selevel, tapi keduanya memiliki keterkaitan. Sabar  narimo adalah  nilai moral-etis yang melandasi dan membingkai tindakan. Ojo kesusu lebih sebagai himbauan moral merespon tindakan.

Sabar narimo (bahasa Jawa) bisa dimaknai sebagai sikap sabar yang membuat kita siap menerima apa yang terjadi; sikap sabar yang membuat kita dipenuhi rasa syukur untuk menerima hal yang terjadi. Ojo kesusu (bahasa Jawa) bisa dimaknai sebagai himbauan, pesan, atau nasihat dari seseorang kepada yang lain agar tidak terburu-buru, jangan tergesa-gesa bertindak. Dua frasa ini tidak asing bagi kita. Berbagai suku-bangsa, komunitas, dan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia tentu memiliki dan menggunakan kedua frasa tersebut dalam kelaziman interaksi sosialnya.

Sikap sabar narimo yang dirawat dan dipraktikkan sebaik-baiknya, bisa menipiskan peluang hadirnya himbauan atau nasihat ojo kesusu (jangan terburu-buru, jangan tergesa-gesa). Sebaliknya, ketika sikap sabar mensyukuri tidak bertumbuh secara baik di dalam diri kita, peluang hadirnya himbauan atau nasihat ojo kesusu bisa lebih sering dan intens. Dengan demikian, sabar narimo adalah unsur sumber untuk menjadi acuan tindakan; sedangkan ojo kesusu muncul sebagai konsekuensi dari tingkat keberhasilan kita menyemai dan menanamkan sikap sabar mensyukuri.

Himbauan Mengontrol Tindakan

Memang hari-hari ini, frasa ojo kesusu sangat tinggi diperbincangkan masyarakat luas melalui berbagai media  mainstream maupun media sosial. Tentu kita tahu pemicu temporalnya yaitu munculnya ujaran Presiden Jokowi pada sebuah acara Ormas yang kental nuansa politik praktis. Itu salah satu alasan, mengapa kami – Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, PSBLN, mengangkat tajuk sabar narimo  ditautkan dengan ojo kesusu. Niat kami tentu tidak untuk turut menggoreng pesan ojo kesusu secara politik, sebaliknya kami berniat membingkainya secara kultural dengan frasa sabar narimo.

Kata-kata atau frasa bernada himbauan, mengingatkan, dan menasihati, bisa dijumpai dalam kehidupan keseharian di berbagai tempat oleh berbagai kelompok etnis, komunitas, dan masyarakat secara luas. Misalnya, mengambil contoh dari lingkungan bahasa ibu yang saya alami, di Maumere, Flores, kata-kata atau frasa serupa dengan sabar narimo adalah depo plina mole himo, atau pie plina mole himo epan (intinya: sabar dan siap menerima dengan iklas hati). Sementara frasa yang serupa dengan ojo kesusu terlihat dalam ungkapan: lopa ropo rowit, lopa buru erot (intinya: jangan tergesa-gesa, jangan terburu-buru). Tentu cara serupa bisa kita telusuri dalam berbagai konteks satuan sosial dan budaya masyarakat lain di Indonesia.

Pada tingkatan lain, frasa untuk merespon tindakan juga terlihat dalam pilihan kata-kata atau frasa yang mengapresiasi, memberi dukungan, memberi dorongan, dan motivasi terhadap tindakan orang lain. Misalnya: maju terus, pantang mundur, jangan menyerah, terus semangat. Cara merespon dan mengontrol tindakan juga muncul dalam pilihan kata-kata atau frasa yang lebih keras/tegas dalam memberi kritik hujatan, dan celaan terhadap tindakan orang lain, yang tentu saja harus dihindari, seperti dalam kasus bullying.

Hadirnya berbagai kosa kata dan frasa atau konsep tertentu yang aktif dipergunakan dalam kehidupan masyarakat sebetulnya memperlihatkan suasana dan dinamika dalam kehidupan masyarakat. Munculnya ujaran berupa himbauan, peringatan, dan nasihat selalu berhubungan dengan tindakan tertentu yang keluar dari kebisaan, melampaui atau keluar dari tujuan bersama, atau menyinggung etika sosial atau tata krama dalam pergaulan sosial.

Himbauan atau peringatan “jangan terburu-buru” yang datang dari seorang pemimpin kepada  anggota atau stafnya bisa  berhubungan dengan sikap ketergesaan yang jika dibiarkan bisa berakibat kurang baik. Dalam konteks yang lebih kecil, khusus, terbatas, dan pribadi, seruan ojo kesusu atau jangan terburu-buru bisa merupakan nasihat dan kepedulian. Baik penggunaan dalam konteks lebih luas dan lebih kecil/terbatas, kata-kata atau frasa tersebut bekerja mengikuti mekanisme kerja etika-moral yaitu “menghimbau”. Ia tidak memaksa, apalagi langsung menjatuhkan sanksi dan memberi hukuman.

Sumber Menjiwai Tindakan

Di balik pilihan kata-kata atau frasa mengandung tujuan mengontrol tindakan, kita kaya dengan pilihan kata dan frasa untuk menjiwai tindakan, seperti sabar narimo (sabar mensyukuri). Makna sabar mensyukuri, secara lebih dini mengajak kita untuk melihat betapa pentingnya memberi perhatian pada wilayah hulu dan mengarah ke dalam diri. Kita perlu menyemai kesabaran dan merawat kesabaran agar menjadi orang yang lebih arif dan bijaksana.

Memiliki sikap sabar berarti memiliki media dalam diri kita yang lentur/luwes untuk menerima hal-hal yang datang dari luar diri kita entah hal baik yang kita suka maupun hal buruk yang kita tidak suka. Sikap sabar yang lentur/luwes selalu akan membantu kita siap menerima (narimo). Sering kita jumpai pribadi dengan sikap yang sabar lebih siap menerima apa pun yang terjadi atau menimpa diri. Sebaliknya, orang yang tidak sabar umumnya kurang siap menerima sesuatu dengan lapang dan arif, apalagi jika hal yang terjadi bertentangan dengan yang diharapkan. Menjadi sabar bersyukur tidak cukup dilatih melalui kursus-kursus, tetapi berbasis nilai yang dialami, dijalankan, dan direfleksikan (etika karakter: Stephen R. Covey).

Setiap orang memiliki otoritas untuk menyemai, merawat, dan mempraktikkan kesabaran, dan menjadi orang sabar. Bahan baku untuk memelihara kesabaran selalu menyertai kita. Kita bisa ambil dari semua pengalaman, peristiwa, dan kejadian terutama yang kita alami sendiri, baik yang kitas suka maupun tidak suka. Semua itu kita olah melalui proses refleksi dan belajar mengambil hikmah. Secara kedalam, keberhasilan merawat kesabaran akan mempersiapkan kita menjadi orang yang bisa menerima hal-hal yang datang dari luar diri kita.

Selain otoritas dalam diri, kita patut bersyukur bahwa pada setiap satuan sosial baik komunitas, masyarakat, dan secara nasional, kita memiliki kristalisasi nilai-nilai luhur untuk kita jadikan acuan tindakan. Pancasila adalah contoh bagaimana nilai-nilai luhur telah diabstraksi atau dikristalisasi dari nilai budaya bangsa untuk jadi acuan kita semua. Dalam lingkungan pendidikan tinggi, kita patut bersyukur karena di bawah arahan Yayasan Budi Luhur Cakti, Universitas Budi Luhur telah meletakkan dan menerapkan nilai sabar mensyukuri,  cinta kasih, rendah hati, suka menolong sesama, kerjasama, jujur, tanggung jawab, toleransi, dan sopan santun, sebagai nilai dasar Kebudiluhuran yang diajarkan dan dipratikkan secara formal dan informal dalam kehidupan kampus.

Kita semua perlu optimis bahwa pada semua pihak, baik institusi pendidikan, kelompok, komunitas,  masyarakat, dan lembaga pemerintah, sedang berlangsung berbagai prakarsa merawat nilai luhur untuk kelapangan hidup bersama. Tajuk dan semua gagasan ini berhutang budi kepada Bapak Drs. Djaetun HS sebagai pendiri Yayasan Budi Luhur Cakti dan para sesepuh yang telah meletakkan dan menggerakkan nilai Kebudiluhuran. Semoga semua prakarsa dan ikhtiar kita lancar dan lapang. Salam budaya luhur Nusantara. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).

Categories: Tajuk Budaya

1 Comment

Imelda · June 4, 2022 at 2:50 am

Terima kasih pak..sangat menginspirasi

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *