Bangkit Budaya dan Pendidikan
Jakarta, 20 Mei 2022. By Prudensius Maring, PSBLN. Tanggal 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Terasa sejalan dengan tema kebangkitan, hari nasional ini tanpa libur nasional. Menurut kami, mengenang hari “kebangkitan” memang sepantasnya dilakukan dalam suasana kerja nasional oleh semua orang pada semua bidang kehidupan. Meski inspirasi kebangkitan nasional mengarah pada semua bidang, kami hanya melihat dari sisi budaya dan pendidikan.
Melalui tajuk hari ini, kami – Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara (PSBLN) mengajak kita sejenak melihat: Adakah hubungan antara tema-tema perjuangan 20 Mei hari-hari ini dengan 20 Mei pada masa sekitar 114 tahun silam? Kita seperti sedang berada pada dua situasi yang sangat berbeda dan berjarak jauh dari sisi waktu. Namun, perjuangan masa lalu dan masa kini harus tetap ditautkan oleh kesamaan spirit dan mentalitas demi kebangkitan bangsa Indonesia.
Perjuangan Masa Lalu
Lebih dari seratus tahun silam yaitu masa di mana mulai membenih dan bertumbuhnya kesadaran nasionalisme (Latif: proto-nasionalism), tokoh-tokoh pemoeda-pemikir menginisiasi pergerakan mewujudkan kemadjoean. Melalui taktik membonceng gaung politik etis yang memberi ruang pendidikan bagi kaum pribumi, tokoh-tokoh berdedikasi tingggi menggerakkan kaum muda terpelajar di kota-kota dan turun ke daerah untuk bahu-membahu menanamkan pentingnya kemadjoean. Terminologi kemajuan yang saat ini adalah kata yang biasa diucap, dulu adalah hal baru dan harus disosialisasikan sedemikian rupa ke tengah masyarakat sebagai jalan perubahan.
Para pejuang masa itu menyadari betul bahwa dalam ranah praksis, perjuangan mewujudkan kemajuan itu harus ditempuh melalui pendidikan dan kebudayaan yang mulai dibuka krannya oleh pemerintah kolonial Belanda. Outcome politik etis mulai membuahkan gerakan kaum muda melalui pendirian perhimpunan berbasis tradisi adat, ekonomi, intelektual-pemikir, Sarekat Prijaji, Boedi Oetomo (Budi Utomo), dan inisiasi pendirian media dan pers. Dalam rentang keterbatasan tersebut, Budi Utomo dilihat sebagai perhimpunan yang mampu meletakkan inovasi oganisasi berbasis intelektual-pendidikan.
Meski dalam prosesnya, Budi Utomo tidak bebas dari pengaruh pemikiran konservatif yang berkutat pada kewilayahan terbatas, namun lahir banyak tokoh progresif yang mampu menginisiasi perhimpunan baru dengan wawasan luas-terbuka di bidang pendidikan dan kebudayaan. Yudi Latif (2011) secara mendalam dan komprehensif mencatat sejumlah tokoh di balik perjuangan dan tanda-tanda lahirnya kebangkitan di bidang pendidikan saat itu, antara lain: Wahidin Sudiro Husodo, Abdul Rivai, Tirto Adhi Surjo, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, Sutomo, Satiman Wirjosandjojo, Suradji, Mohammad Saleh, Suwarno, dan Gunawan Mangunkusumo.
Prakarsa dan perjuangan para tokoh dan perhimpunan setelah tahun 1900 itu melahirkan benih-benih nasionalisme yang mewujud dalam rangkaian kongres kebudayaan dan Sumpah Pemuda Oktober 1928. Gelora gerakan kaum muda-terpelajar dan tokoh masyarakat pada rentang masa itu melahirkan apresiasi yang tinggi. Sejak tahun 1959, prakarsa para pejuang sekitar 114 tahun silam itu dijadikan tonggak kebangkitan bangsa Indonesia. Secara simbolik tanggal lahirnya Budi Utomo 20 Mei (dan tentu dijiwai keseluruhan pergerakan dalam kurun waktu itu) ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai hari kebangkitan nasional.
Spirit Masa Kini
Tercatat dalam sejarah bahwa kaum muda pribumi pada masa akhir abad ke-19 yang memperoleh kesempatan mencicipi pendidikan dari praktik politik etis “setengah hati” tidak berpuas diri dan menikmatinya sendiri. Mereka tidak tergiur menjadi birokrat kaki-tangan pemerintahan kolonial, sebaliknya bergerak keluar masuk daerah menggalang kesadaran kaum pribumi untuk maju bersama. Perhimpunan Budi Utomo, meski kehadirannya tidak bebas dari kritik karena masih adanya mentalitas konservatif dan primordial dari tokoh tertentu, namun inovasi perjuangan melalui teknik organisasi yang lebih maju pada masa itu tidak terbantahkan.
Peristiwa kebangkitan selalu dilatari gambaran situasi yang buruk, terpuruk, terjatuh, terbelakang, kebodohan, dan mentalitas pasif. Momentum kebangkitan berusaha mengubah situasi buruk itu menuju kesejajaran bahkan menjadi lebih tinggi, lebih maju, lebih kuat, dan lebih besar. Penetapan Harkitnas tidak berarti semua pergerakan saat itu sukses. Para tokoh pergerakan melalui organisasi bentukan kaum pribumi merasakan keterbatasan akses pendidikan bagi kaum pribumi secara merata. Mereka memperjuangkan keterbukaan akses pendidikan melalui beasiswa. Keterkungkungan mentalitas dan kuatnya kendali penjajahan menguatkan kesadaran untuk menegakkan kebudayaan Indonesia.
Belajar dari masa lalu, Harkitnas mestinya bisa memberi spirit dan semangat baru bagi kita untuk melanjutkan perjuangan dalam konteks ruang dan waktu berbeda. Praktik politik etis berwatak “setengah hati” yang diperagakan pemerintah kolonial demi keberlanjutan mesin birokrasinya harus dikikis habis. Kebijakan pendidikan dan kebudayaan masa kini harus berlangsung merata dan adil untuk semua lapisan masyarakat. Patut dicontoh keberanian pejuang masa lalu untuk menyiasati (dalam makna positif) kebijakan pendidikan bersifat elitis-terbatas dan berorientasi melayani mesin birokrasi kolonial. Semoga kebijakan “merdeka belajar kampus merdeka” mampu secara berkelanjutan memberi kesejukan dan jawaban di balik bayangan suram masa lalu.
Kita optimis pasti bisa. Saat ini, berbagai jenis dan tingkatan pendidikan tengah bangkit mengadaptasi perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan sebagai respon terhadap pandemi Covid-19 dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai skema pembiayaan pendidikan melalui beasiswa terus dikembangkan di atas prinsip keadilan, pemerataan, apresiasi atas prestasi, dan keterjangkauan bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses. Pada bidang lebih luas, beberapa hari lalu Presiden Jokowi mengumumkan kelonggaran pemakaian masker di luar ruangan sebagai buah perjuangan kolektif bangsa memerangi pandemi. Hari-hari ini pemuda-pemudi Indonesia tengah berjuang menegakkan kehormatan bangsa melalui spirit nasionalisme pada ajang olahraga SEA-Games.
Semoga aneka prakarsa dan tanda-tanda kebangkitan nasional terus kita rawat dan ukir bersama dalam spirit gotong-royong. Seperti dinyatakan Presiden Jokowi pada momentum Harkitnas hari ini (20/05/2022): “Satu demi satu tantangan telah kita lewati. Sebagai bangsa yang besar, ayunan langkah kita tak akan terhenti. Kita tetap bangkit dan maju bersama-sama, membangun merata dari Sabang sampai Merauke. Tidak boleh ada yang tertinggal. Tak ada yang boleh tersisihkan.” Selamat merefleksikan Harkitnas. Salam budaya luhur Nusantara. (Prudensius Maring: Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara, Universitas Budi Luhur).
0 Comments