Salam Perdana: Mudik Budaya
Jakarta, 12 Mei 2022: By Prudensius Maring, PSBLN. Untuk pertama kalinya kami haturkan salam mudik budaya. Kami menyebutnya mudik budaya, bukan budaya mudik. Terkesan sama, tapi beda. Mudik budaya menunjuk pada upaya melihat alasan luhur yang mendasari dan menggerakkan orang untuk mudik, bukan pada fenomena mudiknya. Kita semua tentu pernah mengalami mudik. Mengalami berarti melakukan, mempraktikkan secara nyata. Apa yang dialami selalu lebih bertahan lama, melekat dalam ingatan dan pikiran, bahkan terinternalisasi dan melebur dalam tindakan.
Mudik budaya, kami angkat sebagai tajuk perdana dari kami – Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara (PSBLN), untuk dihaturkan kepada anda semua. Tentu saja, pilihan tajuk perdana ini karena hingga hari-hari ini tema mudik masih merajai pikiran, perasaan, dan pengalaman kita semua. Mudik tak kenal batasan sosial, latar ekonomi, dan batasan teritorial. Kita semua mengalami mudik dalam situasi yang kompleks, dari desa ke kota, kota ke desa, timur ke barat, barat ke timur, utara ke selatan, selatan ke utara, via darat, laut, dan udara.
Momentum sejenak pulang-kembali ke kampung, menuju orang tua dan keluarga tercinta adalah gejala yang tampak, nyata kelihatan. Peristiwa ini terus berulang, berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam dan kini terus menguat. Tahun-tahun terakhir ini langkah kita seolah terhenti, direm sejenak oleh Covid-19. Tapi, kekuatan semangat mudik tetap bergelora dan teruji di tengah badai Covid-19. Terlihat seperti di tahun-tahun kemarin, meski dibatasi dan dikekang, hasrat mudik di hari raya tetap dilakukan dengan berbagai siasat dan taktik untuk menghadapi aparat di lapangan.
Nilai Dasar yang Menggerakkan
Apa kekuatan yang membuat tradisi mudik tak terbendung? Apakah karena kuatnya ajang unjuk gengsi ke kampung? Apakah karena hasrat pamer-pamer sebagai orang perantauan kota yang sukses? Apakah sekadar hasrat menggenapi kebiasaan dan tradisi tahunan? Atau karena ingin sekadar menghindar dan mengambil jarak dari hiruk-pikuk kota?
Tentu saja, ada beberapa pertayaan tersebut segera kita tolak. Ada pula yang turut berkontribusi melahirkan keputusan untuk mudik. Tapi dari sudut pandang kami – budaya luhur, mudik adalah sebuah peristiwa budaya, bukan sebuah peristiwa biasa. Mudik adalah wujud pertanggungjawaban terhadap nlai-nilai luhur yang sudah menyatu dalam diri kita dan menggerakkan kita. Kita semua, terlahir sebagai manusia berbudaya. Sejak kecil, proses internalisasi nilai-nilai luhur telah mengalir ke dalam diri kita. Kita semua mengalami itu, sejak masa kecil kita, pada masa lalu kita, dalam lingkungan keluarga dan kampung dalam arti sesungguhnya.
Ketika lahir dan bertumbuh kian besar dari hari ke hari, kita terus mengalami proses internalisasi dan sosialisasi. Dimulai dari bersentuhan dengan orang-orang terdekat seperti ibu-ayah, saudara sedarah-sekandung dan keluarga lebih luas, yang berlangsung dalam lingkungan sosial terkecil dari keluarga dan meluas ke kampung, desa, dan kota kelahiran. Pengalaman demikian adalah mekanisme dasar proses pembudayaan atau enkulturasi. Ketika kian bertumbuh besar dan kebutuhan sosialisasi kian kompleks, kita membutuhkan lingkungan lebih luas untuk memgambil nilai dan menyebarluaskan nilai. Kita bersentuhan dengan keluarga luas, sekolah, komunitas, dan masyarakat lebih luas untuk melanjutkan proses internalisasi dan sosialisasi diri agar kelak kita menjadi pribadi yang matang.
Sangat bervariasi. Proses internalisasi dan sosialisasi sebagai esensi proses pembudayaan itu terkadang cukup berlangsung di ruang terbatas, dekat-dekat saja, bisa berkisar di dalam kampung saja, di dalam desa yang sama, dalam satu kota saja. Tapi banyak bukti menunjukkan sebaliknya, kita seperti tidak mampu membatasi diri untuk tidak bergerak keluar lebih jauh: meninggalkan orangtua, meninggalkan keluarga dan kampung, meninggalkan kota kelahiran kita, bahkan menembus batas antarnegara dan benua. Tuntutan profesi, alasan mencari nafkah, dan aktualisasi diri kerap membuat kita pergi lebih jauh.
Panggilan Nilai Luhur
Tapi sejauh-jauhnya kita pergi dan bersosialisasi dengan lingkungan lebih luas, pengalaman perdana dalam proses internalisasi nilai luhur sejak kita dalam rahim ibu dan “rahim sosial” seperti kampung-desa dan kota asal tidak akan pernah hilang. Semua nilai luhur berupa kasih sayang, cinta kasih, saling peduli, solidaritas sosial, gotong-royong, tanpa pamrih, keiklasan dan ketulusan yang pernah kita serap sejak kecil dari orang-orang terkasih dan lingkungan terdekat akan terus tertata rapi dalam kenangan, memori, perasaan dan pikiran kita.
Sesibuk-sibuknya kita di tengah hiruk-pikuk kota dan asyiknya kita berprofesi, nilai-nilai luhur itu terus menjiwai kita. Nilai-nilai luhur itu begitu halus bekerja mempengaruhi dan menggerakkan kita untuk sejenak mudik ke kampung halaman. Jadi jelaslah di sini, mudik kita bukan sekadar untuk melayani hasrat pamer-pamer dan pelarian dari kebisingan kota, tetapi karena panggilan nilai kasih sayang, saling peduli, solidaritas sosial, gotong-royong, tanpa pamrih, keiklasan dan ketulusan yang pernah kita petik dari orang-orang terkasih dan lingkungan terdekat.
Bersyukurlah kita sebagai bangsa yang religius, berbudaya, dan beradab, kita memiliki banyak mekanisme sosio-religius dan formal dalam wujud hari raya yang memungkinkan kita bisa menjawab kerinduan pulang sejenak ke orangtua, keluarga, dan kampung asal kita. Mudik adalah panggilan untuk bersua dengan orang-orang dan lingkungan perdana yang pernah menanamkan atau menginternalisasi dan mensosialisasikan nilai-nilai luhur yang kini mengalir dalam diri dan menggerakkan kita. Kita bersyukur, kali ini hari raya Idul Fitri membuka ruang mudik, akan menyusul hari raya berikutnya untuk menjawab kerinduan mudik kita secara berulang.
Tajuk ini menginspirasi kepada pemikiran Koentjaraningrat, perintis antropologi budaya di Indonesia yang mengajarkan internalisasi dan sosialisasi tanpa henti sebagai proses dasar pembudayaan. Inspirasi pun bersumber dari Foucault melalui konsep archaeology of knowledge, apa yang pernah kita alami dan ketahui tidak akan hilang, ia terus ada dalam pikiran kita dan sekali waktu muncul kembali dan menggerakkan kita, seperti yang kita alami melalui peristiwa mudik. Mudik terjadi terutama karena panggilan untuk bersua dengan nilai-nilai luhur yang pernah kita alami dan serap dari orang-orang terkasih dan lingkungan terdekat kita. Salam budaya luhur nusantara. (By Prudensius Maring, PSBLN).
0 Comments